“Semakin Kita mengerti Akan Suatu Ilmu, Kita Akan Tahu Ilmu Yang Kita Kuasai Itu Baru Cuma Dasar”

Sumber: canstockphoto.com

“Ada Pertanyaan?” kata guru Hanis di depan murid-murid SMP setelah ia menerangkan materi pelajaran mengarang. Mereka terdiam sesaat, hanya saling tengok kanan-kiri. Tiba-tiba Ahmed, murid terpintar (‘gubrak’), tunjuk tangan lalu “Ada pak. Nganu….bisakah mengarang saya gunakan untun menulis cerpen, caranya bagaimana?” Mendapat pertanyaan sesulit itu, guru Hanis terdiam sesaat, padahal ia gundah dalam hati “waduh ini anak kok nanyanya macam-macam. Baru diterangin yang dasar eh kok…” Walaupun hatinya grundel, guru Hanis tetap tersenyum ke Ahmed “Super sekali pertanyaannya. Begini Ahmed karena waktu pelajaran telah habis, maka Bapak akan jawab besok ya?” (‘gubrak lagi….Padahal sebenarnya guru Hanis memang tidak tahu jawabannya’).

 

“Pioner Akan Selalu Terdepan Dalam Menguasai Detail Kecuali Kalau Ia Tidak Mau Belajar Lagi”

Anekdot di atas mengilustrasikan situasi berbagi (tepatnya membagikan) ilmu antara guru dan murid. Apa yang dilakukan guru Hanis untuk menjawab pertanyaan Ahmed besok hari mengambarkan jawaban diplomatis. Lebih jauh, ia akan belajar kembali tentang materi pelajaran mengarang untuk menjawab pertanyaan itu. Namun sayangnya anekdot itu fiksi belaka. Maksudnya, kalau situasi itu terjadi di kenyataan maka guru itu tak akan grundel, ia malah senang mendapat pertanyaan itu. Mengapa? Sebab akan membuka kesempatan guru itu untuk belajar kembali.

Ya kekuatan dari berbagi (ilmu atau apapun) adalah membuka kesempatan. Dalam kalimat lain, si pembagi akan tahu ilmu yang dikuasai itu baru cuma dasar. Maka dari itu ia akan tertarik untuk lagi-lagi belajar tentang ilmu itu (inilah yang disebut membuka kesempatan). Itu satu kalau misalnya memang si pembagi ada yang menanyakan tentang ilmu itu. Kedua kalau tidak ada yang menanyakan tentang ilmu itu namun tetap ingin berbagi, ia akan secara otomatis menguasai detail.

Secara logika matematis memang kalau berbagi maka akan berkurang. Misal 4 dikurangi 2 akan menjadi 2. namun sayangnya logika matematis tidak berlaku bagi the power of sharing. Mengapa? Ketika seseorang memutuskan berbagi suatu ilmu, misalnya, apa yang dia lakukan? Setidaknya ada dua hal. (1). Sebelum berbagi, dia akan belajar tentang detail ilmu itu lagi dan lagi karena ia ingin menyempurnakan ilmunya untuk dibagi, (2). Sesudah berbagi, dia akan tahu detail mana yang kurang sehingga ilmu itu menurutnya kurang sempurna untuk dibagi.

Contoh nyatanya, perhatikan buku non-fiksi best seller yang telah dicetak ulang berkali-kali. Biasanya buku cetakan terakhir akan lebih sempurna dari buku cetakan pertama. Ya karena buku itu telah mengalami revisi terkait dengan dua poin di atas (baik itu berupa revisi yang datang dari pertanyaan atau kritikan pembaca maupun revisi yang datang atas kesadaran penulis sendiri yang mana detail yang kurang).

Jadi Jangan takut untuk berbagi (termasuk berbagi ilmu menulis di Kompasiana) sebab orang yang pertama yang berbagi akan suatu hal (disebut juga pioner) akan selalu terdepan dalam menguasai detail. Inilah jawaban bagi orang-orang yang berasumsi “jangan-jangan nanti kalau saya bagikan ilmu itu, pesaing akan lebih tahu tentang ilmu itu lalu mengaplikasikannya.” By the way, strategi berbagi ini telah lama digunakan para motivator (seperti Tung Desem dan lain-lain) dalam salah-satu usahanya mencari pelanggan. Mereka akan membagikan ilmunya secara gratis dalam seminar “preview.” Nah, kalau ada peserta seminar yang penasaran akan detail ilmu itu, silakan ikuti seminar yang berbayar.

Membuka kesempatan juga berlaku dalam hal berbagi materi (zakat, infak, sodakoh dan bentuk lainnya). Silakan logikakan sendiri dengan penalaran tulisan di atas.

“Berpura-puralah Menjadi Ahli akan Suatu Ilmu, Maka Kau akan Menjadi Pakar Dalam Menguasai Ilmu Tersebut”

Note: Tulisan ini adalah repost dari tulisan saya sendiri di Kompasiana