Terimakasih Buat Asia Wisata yang telah menerbangkan saya ke kota Makassar. Juga buat Bunda Sitti Rabiah dan Bang Nur Terbit yang telah menjamu saya di kota Makassar. Tak ketinggalan Blogger Reporter Indonesia (BRid) saya juga menggucapkan terimakasih.

Coto-Makassar-Nusantara-Pisang-Ijo-Buttatoa
Dokumen Pribadi

Dari Pisang dan Daging, jadilah satu rasa khas kuliner Makassar. Sampai saat ini, di pikiran belum terpetik apa nama rasa khas itu? Ia tentu tidak manis, tidak juga pahit. Ia seperti rasa sepet sedikit masam, tapi ada kesegaran ketika berada di mulut.

Ya saya tergelitik untuk menyimpulkan cetak biru (blue print) rasa khas kuliner ibu kota provinsi Sulawesi Selatan ini. Padahal saya di kota para Daeng ini hanya 5 hari dan hanya mencoba Pisang Ijo, Coto, Konro dan Pallubasa, tapi dari keempat makanan khas tersebut begitu membekas kuatnya rasa di ingatan.


Selain membekas, juga karena sudah jadi rahasia umum ada ungkapan untuk wisatawan yang baru pertama kali ke Makassar, “kurang lengkap rasanya kalau ke kota Makassar belum mencoba Coto, Konro, Pallubasa dan Pisang Ijo.” Maka dari itu, saya tak mau ketinggalan ikut mencoba kuliner khas kota yang dulu dikenal dengan nama Ujung Pandang.

“Nah ketemu..!” Cetak biru khas kuliner kota Makassar adalah seperti rasa fermentasi. Hanya rasanya saja seperti atau hampir mirip, namun cara membuat ke-5 makanan yang telah saya sebutkan tadi bukan diawetkan yang menyebabkan terjadinya fermentasi.

Fermentasi yang saya maksud (terutama pada menu olahan daging) adalah terdapat rasa yang kuat di lidah karena bumbu dasarnya terbuat dari ramuan rempah-rempah seperti jinten, jahe, kayu manis, lengkuas, merica, ketumbar, serai dan bumbu rempah lainnya.

Es Atau Bubur?

Pertama yang saya coba adalah Pisang Ijo. Ketika saya Googling “Pisang Ijo,” rata-rata menyebut kuliner itu adalah es. Nah giliran mencoba sendiri, saya lebih cenderung menyebut olahan Pisang Raja ini sebagai bubur.

Sebenarnya ini yang membuat saya ya semacam bingung. Kalau disebut es berarti paling enak disajikan siang hari apalagi ketika cuaca panas. Sedangkan kalau disebut bubur berarti dibuat sarapan pagi hari cara yang paling sesuai penyajiannya.

Atau memang paling pas disebut sebagai es bubur Pisang Ijo. Ini yang unik perihal menggabungkan dua menu atau dua rasa menjadi satu olahan kuliner. Saya pernah dengar bahwa memang ada tradisi menggabungkan di beberapa daerah Indonesia misal, Soto Rujak di Banyuwangi.

Atau di Makassar sendiri (sayang, saya sewaktu di sana tidak mencobanya) ada pisang goreng yang cara makannya dicocol dengan sambal. Sama hanya dengan sebagian besar penduduk Palembang sangat suka minum Cuko kuah Pempek yang pedas di pagi hari.

Begitu juga dengan Pisang Ijo, gabungan antara es dengan bubur yang bisa disajikan kapan saja waktunya. Ini yang menarik karena ada tradisi menggabungkan olahan kuliner. Saya yang terbiasa makan dengan pola kalau sarapan cocoknya dengan makanan rasa manis  (begitu juga dengan makan siang dan makan malam ada pola-pola tertentu), menjadi excited atau shocking rasa.

Contohnya nasi yang terbiasa saya makan berasa manis, di Makassar nasi berasa hambar. Dugaan saya mengapa nasi menjadi hambar, bukan karena beras di Makassar berbeda dengan yang di Jawa. Lidah menjadi kebal terhadap rasa manis karena telah terbiasa mencicipi rasa fermentasi kuliner Makassar.

Sup Atau Soto?

Contoh lagi saya shocking rasa di Makassar, yaitu ketika mencoba Coto, Konro dan Pallubasa. Kesan saya yang baru pertama kali melihat langsung ketiga menu khas Makassar ini, sama semua penyajian dan rasanya.

Di dalam mangkok berukuran kecil (ukurannya lebih kecil dari mangkuk Mie Ayam biasanya), ketiga menu khas Makassar ini berisi kuah kaldu berwarna coklat pekat. Bagi saya tidak hanya warna kaldunya yang sama, tapi rasa ketiganya kok 11 12. Lezat dan segar, sedikit rasa fermentasi.

Dugaan saya, apa karena memang rasa dasar menu olahan daging semuanya sama. Itu satu. Kedua, apa karena saya harus berkali-kali mencoba Coto, Konro dan Pallubasa agar tahu perbedaan rasa di antara ketiganya.

Bukan berarti saya yang shocking rasa tidak tahu sedikit perbedaan ketiga menu khas Makassar ini. Ketika mencoba Coto di Rumah Makan Coto Nusantara dan Rumah Makan Coto Buttatoa, hal yang berkesan buat saya adalah sambal Tauconya. Coba dibayangkan, rasa kuatnya bumbu rempah-rempah Coto dipadu dengan rasa sedikit pedas fermentasi Tauco.

Saya mencicipi Sup Konro di “ah, saya lupa nama Rumah Makan apa yang saya singgahi, lupa juga mendokumentasikannya.” Patokannya Rumah Makan Konro ini terletak di Jl Perintis Kemerdekaan, Pai, kel Sudiang kec Biringkanaya, depan mal Citra, Makassar.

Kesan saya mencoba sup Konro, menu ini kalau dilihat dari kuahnya bukan Sup, warna kuahnya hampir mirip Coto cuma kaldu Konro lebih terang. Rasa daging iganya tidak kuat karena dinetralkan dengan rasa kacang merah yang tercampur di Konro. Bisa jadi Konro disebut sup karena rasa netralnya itu.

Rasa sedikit gurih kelapa sangrai tercerap di lidah saya ketika mencoba Pallubasa Onta. Saya perhatikan ternyata ada campuran serundeng kelapa di kuah Pallubasa. Kata teman, makan Pallubasa paling enak dicampur kuning telur setengah matang, jadi mirip penyajian Ramen. Sayang, saya belum tahu campuran itu sewaktu pertama kali mencoba Pallubasa Onta.

Semoga saya ada kesempatan lagi ke Makassar untuk lebih mengeksplorasi wisata kuliner di kota Para Daeng ini.