​Sebagaimana ‘makan jalan,’ saya pun segera mengambil piring lalu menunggu sejenak untuk mengambil pasangannya, sendok. Di belakang Abang (kakak kedua) saya mengantri menyerok nasi. Ruang kosong di depan periuk besar karbo putih, segera saya tempati setelah abang bergeser mengambil lauk pauk. Sembari menggaruk-garuk nasi dan memindahkannya ke piring, pikiran saya menginggatkan: “Ingat ini makan hanya basa-basi. Jadi porsinya jangan muntuk-muntuk (meluber di piring).”

Setelah tiga kepal nasi (berukuran sembarang cenderung ke kecil) berada di piring, lirikan saya memandu tangan untuk mengambil lauk sayur merah berkuah pedas. Rendang Jengkol. Itu pun masih dalam peringatan pikiran “awas jangan banyak-banyak.” hasilnya nasi tercampur rendang jengkol, hanya mengisi setengah diameter lebar tatakan bundar piring berukuran sedang.

Balik kanan bermaksud mau makan di teras rumah, ruang sempit jalan keluar di kamar tengah sudah tertutup acak oleh sanak saudara yang sedang makan lesehan. Memaksakan diri keluar juga tidak baik, nanti malah ada insiden. “Med, makan di atas ajah,” segera saya melangkah ke tangga mengikuti saran Mbak A (istri Abang ke enam). Itupun harus melewati dua saudara yang menutupi jalan menuju tangga atas.

Tanggung Jawab



Tidak menyangka juga saya hari Minggu ini (12/11/2016), saya turut serta dalam Arisan Keluarga Besar Kakek Chalimi Kebumen. Biasanya saya malas mengikuti arisan yang diadakan berkala 2 bulan sekali ini. Alasannya, di antara keluarga besar angkatan 80-90an saya sendiri yang belum menikah dan bekerja sebagaimana mestinya bekerja di kantor. Ya itu namanya malu kalau ditanya ini itu.

Kenyataannya, tidak terjadi malu walaupun juga tidak terjadi hal-hal istimewa. Biasa saja namun (“mudah-mudahan buat saya ya”) bisa belajar dari bersilahturahmi antar anggota keluarga besar ini. Barangkali ada lebih dari satu pembelajaran.

Di antaranya, saya melihat pasangan suami-istri (baik pasangan sanak saudara seangkatan maupun pasangan muda dari para sepupu). Dan dari melihat itu bisa jadi dapat mengambil pembelajaran. “Ah jadi bingung mau menulis apa soalnya ide sudah ke atas dan tercecar di langit-langit pikiran, kudu di kumpulin lagi.”

Tanggung jawab. Mulai dari pengamatan ini, saya ingin mengatakan: Mereka masing-masing para pasangan seakan saling menginggatkan bahwa ada tanggung jawab sebagai suami atau istri. Maksudnya begini, tanpa disuruh atau tanpa beban mereka masing-masing para pasangan saling mengisi peran sebagai suami atau sebagai istri.

Masih belum mengerti? “Ya saya juga, hahaha.” enaknya barangkali langsung lari ke contoh ya. Eaaaa juga nggak enak menceritakan siapa-siapa saja contohnya, “khawatir mengumbar aib hahaha eh maksudnya nggak enak ajah menyebut nama. Gitu ajah.”

Intinya, ya gitu dengan tujuan menjaga perasaan dan kemesraan mereka masing-masing tahu diri mereka tidak bebas lagi seperti dulu sewaktu lajang. Ada kewajiban bernama tanggung jawab. Cukup, itu saja.

Barangkali ada yang menanggapi, “semua orang juga tahu kalee, masa kamu baru tahu sekarang? Yeee kemana ajah hahaha.” Nah itu dia, meski secara teori sudah tahu (“ya iyalah kan belum nikah”) saya seperti dilihatkan kembali atau diingatkan kembali dengan tujuan: “Med besok jangan lupa kalau sudah menikah harus gitu juga. Bisa nggak lu?”

Pembelajaran lainnya yang saya dapat di arisan di Kota Bumi Tangerang (di rumah Abang ke enam dari saya, anak ke tujuh), rendang jengkolnya pedes banget. “Kagak kuat saya dengan level pedes menguar tanpa ada rasa gurihnya itu.” Akhirnya rendang saya sisihkan di piring, saya hanya makan nasi putih ajah. Itupun setelah sampai rumah di Kebagusan, saya makan lagi. “Lapar bro, kan tadi cuma ‘makan basa-basi’ hahaha.”