
Bagaimana rasanya ditegur keras security Mall? Wuaah, ternyata efeknya sampai kehilangan mood nonton konser. Tidak hanya itu, lagi-lagi rasanya ingin balas perlakuan “tak sopan” wuawkwk. Habis gondok rasanya mengumpal di dada, harus ditumpahkan.
Langsung setelah setengah jam “dikeplak” orang berbadan tegap, berseragam safari dan berkepala cepak, saya melakukan aksi balasan yang serupa namun tak sama. Karena ruangan konser remang-remang berlampu disko, saya pun melakukan teror psikologis wuawkwkwk. Posisi berdiri Security itu saya cari, setelah ketemu saya tatap terus (daripada nonton yang di panggung walau bening-bening, sudah ndak mood).
Padahal itu saya melihat ke arah belakangnya. Ya namanya teror psikologis sebagaimana seseorang lawan jenis kalau ditatap terus menerus pasti akan risih (“eh risih itu salah satu efeknya lho, masih banyak efek lainnya seperti orang yang lagi falling in love diliatin terus ama gebetannya).
Benar juga, ternyata sang target gelisah bin risih wuawkwkwk. Tidak cukup hanya itu agar dampak teror berefek ganda, pelan-pelan saya berjalan ke arah security tanpa diketahui. Tiba-tiba posisi saya sudah dibelakang dia. Berjarak beberapa meter dibelakangnya, saya terus melakukan tatapan manipulatif.
Yeee….
Hasilnya, tetap nggak puas. Ya iya lah, sebelum keplak balik rasanya masih jengah aja nih saya. Mlipir-lah saya keluar ruangan konser. Dan ternyata saudara-saudara saya barusan terkena ilusi psikologis di ruangan remang-remang. Yang namanya security mall itu perawakannya di mana-mana hampir sama, berbadan tegap, berseragam safari dan berkepala cepak. Salah orang rupanya, berarti tadi yang saya teror siapa ya, wuawkwkwk.
Untung ada namanya menulis sebagai media terapi kegalauan, menulis-lah saya demi uneg-uneg tertumpah. Padahal malam itu (Jum’at. 24/05) saya ingin fokus melihat konser digital JKT48 dari dekat, ya ingin menuntaskan rasa penasaran saja “apa dan siapa grup sister dari AKB48 pertama yang berada diluar Jepang itu.”
Hanya gara-gara kesalahan menggunakan blitz kamera di saat memotet di ruangan konser, saya malah nggak konsentrasi lagi melihat sampai habis konser digital pertama di Indonesia dari Indosat. Tapi tetap, saya jadi tahu sedikit “ooh itu tho grup idola asal Indonesia yang diproduseri oleh Yasushi Akimoto.”
“Yeeee…” Nah itu salah satu ciri khas koor JKT48 yang saya baru tahu. Sepanjang penampilan panggung koor “yee” selalu keluar dari ke-16 member grup idola yang angka 48-nya mengandung arti Shiba Kotaro (4 = Shi, 8 = Ba) itu.
Masih banyak yang malam itu mendadak saya jadi tahu tentang JKT48. Misal seperti ruangan konser JKT48. Awalnya saya dan teman-teman Blogger Reporter Indonesia (BRID) menyangka itu ruang bioskop di FX Sudirman Lantai 4, ternyata itu ruangan tempat theater permanen JKT48. Pantas saja, di sepanjang dinding lorong masuk ruang tertempel koleksi foto para member JKT48.

Hampir tiap malam, mereka konser di situ demi fans. Cuma memang ketika saya hadir, malam itu JKT48 konser demi mewujudkan keinginan lebih dari 5000 pelanggan IM3 yang telah berkompetisi membuat panggung secara virtual. Ini yang membuat saya heran sekaligus kagum, ternyata kompetisi itu mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai konseer dengan kru terbanyak yang diikuti oleh pelanggan via digital.
Kenapa heran dan kagum? Kata kuncinya bisa jadi adalah loyalitas (baca: keamauan yang kuat) para pelanggan IM3. Lebih jauh, kok bisa ya mereka para pelanggan rela berkompetisi demi JKT48, ya itu tadi karena loyalitas. Kalau mau diteruskan, dari sebuah loyalitas akan berbuah kreativitas untuk berkumpul dan berkompetisi.
Jangankan saya, Erik Meijer (Director and Chief Commercial Officer PT Indosat) juga heran dan kagum. “Luar biasa dengan lima ribu lebih orang, bisa menghasilkan suatu konser, dari tata lampu segala macam diatur oleh kalian para pelanggan,” katanya di saat member sambutan di panggung. Sebagai informasi, para peserta kompetisi memang benar-benar berkontribusi dalam persiapan konser. Misal seperti menyiapkan ligting, speaker, sound, dan dan perlengkapan konse lainnya dalam format digital.


Sudah dulu deh keluarkan uneg-unegnya, besok-besok jadi pelajaran memang, kalau memotret di ruangan konser jangan pakai blitz kecuali memang mau dikeplak Security wuawkwkwk.
*** Tulisan ini ada repost dari Reportase saya sendiri di Kompasiana