Kearifan budaya Indonesia bisa digali nilainya melalui dua jalur. Jalur pertama adalah kesenian (non-benda) dan jalur kedua melalui produk budaya. Di jalur produk budaya, salah satunya ada Blangkon yaitu kain penutup kepala yang dibentuk rapih, khas dari daerah-daerah di Jawa.

Mursito-Mad-Balngkon-Iket-Khas-Blitar
Mas Mursito, Pelaku UKM Mad Blangkon Iket Khas Blitar

Nilai kearifan budaya Blangkon khas Blitar menurut Mursito ada pada tiga hal. Buntut depan blangkon yang menyimbolkan indera ke enam atau intuisi. Lalu ada dua ekor belakang yang menyimbolkan penyeimbang intuisi dan hiasan Batik di tengah sebagai pamor yang menyimbolkan kewibawaan hasil dari keseimbangan antara depan dan belakang.


Mursito sendiri adalah pedagang pakaian khas Blitar yang saya temui di Demang Cafe Sarinah (Sabtu, 7 November 2015). Produk unggulannya adalah Blangkon yang pernah digunakan oleh Soekarno selagi muda. Maka dari itu, Mat Blangkon (julukan dari Mursito) sehari-hari berjualan dagangannya di area Makam Presiden RI pertama di Bendogerit, Sananwetan, Blitar, Jawa Timur.

“Blitar itu sudah banyak yang kenal. Bahkan dunia juga mengenalnya sebagai lokasi Makam Bung Karno. Nah saya ingin mempopulerkan pakaian khas Blitar seterkenal lokasi Makam Bung Karno,” ujar pria berusia 28 tahun ini, ketika saya tanya mengapa usahanya layak disejajarkan dengan produk-produk UKM (Usaha Kecil Menengah) Indonesia.

Dari motivasi inilah, saya diskusi dengan Mat Blangkon bahwa udeng-udeng khas Blitar sangat layak terkenal dan dijual karena nilai kearifan budaya yang terkandung di Iket Blitar itu. Lebih lanjut jika ada seorang menggunakan Blangkon Blitar, seseorang itu diingatkan tentang: “Memimpinlah dengan intuisi (condro), namun seimbangkanlah keputusan kepemimpinan dengan berpikir kanan dan kiri (dua ekor) agar tercipta mahkota kewibawaan (pamor).”

Lebih lanjut, bila ingin berwibawa seperti Soekarno salah satu jalannya belilah Iket Blitar Mat Blangkon seharga 40 ribu per satu kain Batik segitiga (kualitas bagus). Alasannya, dengan menggunakan Iket Blitar di kepala akan selalu diingatkan tentang nilai kearifan budaya kepemimpinan Jawa.

Hubungi Mas Mursito langsung di nomer 0856-4652-0355 untuk memesan Iket Blitar Mat Blangkon. Nah setelah membeli kain segitiga batik Blitar, jangan lupa cara mengikatnya di kepala menjadi blankon. Berikut video cara mengikat Blangkon Khas Blitar dari Mas Mursito agar tiga simbol nilai kearifan budaya kepemimpinan Jawa, terlihat benar:

Kendala Pemasaran

Selain Mas Mursito, di acara #KopdarTemanAsyiik yang saya hadiri bersama Komunitas Blogger Laki (KOBEL), juga ada Mas Ipul UKM Topi Bambu dari Tangerang, Mas Nanang UKM Arca Batu dari Trowulan Mojokerto, Pak Iwan atau Abah Goni UKM asesoris pakaian berbahan dasar Karung Goni dari Sukabumi, Mas Tri Suryanto UKM Reog Ponorogo dari Surabaya, Mas Fathul Huda UKM Batik Pekalongan dan Pak Daryanto UKM Sendal Ban Bekas (BanDol) dari Banyumas.

Ipul-UKM-Topi-Bambu
Mas Ipul UKM Topi Bambu Tangerang
Nanang-UKM-Arca-Batu-Trowulan-Mojokerto
Mas Nanang, Pengrajin UKM Arca Batu dari Trowulan Mojokerto
Pak-Iwan-Abah-Goni-Pengrajin-UKM-Karung-Goni-Sukabumi
Pak Iwan atau Abah Goni (posisi di Tengah). pelaku UKM Karung Goni dari Sukabumi
Tri-Suryanto-UKM-Reog-Ponorogo-Surabaya
Mas Tri Suryanto, Pelaku Seni Reog Ponorogo dari Surabaya
Fathul-Huda-Batik-Kedungwuni-Pekalongan
Mas Fathul Huda (posisi di kanan), Pengrajin Batik Kedoengwoeni Pekalongan
Daryanto-Sendal-Ban-Bekas-Bandol-Banyumas
Pak Daryanto (posisi di kiri) Pengrajin Sendal Ban Bekas Dari Banyumas

Dari ketujuh UKM tersebut, kendala terbesar pemasaran produk-produknya adalah tidak adanya dukungan dari Pemerintah Daerah setempat. Misal UKM Topi Bambu gagal memenuhi permintaan besar dari Myanmar. “Pemda tidak menyetujui memproses hak paten Topi bambu sebagai identitas Tangerang, padahal hak paten itu hal sangat penting untuk memenuhi order dari Myanmar,” kata Mas Rosid, Blogger yang pernah membantu memasarkan UKM Topi Bambu.

Mas Mursito lebih miris lagi, 700 Iket Blitar gagal digunakan jajaran Pemerintah Kota Blitar. “Hanya gara-gara iket yang saya buat kurang warna merahnya (menyamakan Merah bendera penguasa), pesanan sebanyak itu tidak jadi,” kata Mas Mursito.

Kendala kedua pemasaran dari 7 UKM tersebut adalah tidak bisa memutus mata rantai pemasaran tidak langsung  “Pangsa pasar arca batu Trowulan hanya Bali. Nah dari Bali ternyata banyak arca batu buatan Trowulan diekspor ke Eropa. Maka dari itu banyak tamu-tamu asing hanya tahu produksi arca batu hanya dari Bali. Padahal sentra industri arca batu hanya ada di dua daerah, Muntilan dan Trowulan,” Kata Mas Nanang pengrajin UKM Arca Batu.

Masih dari kendala kedua UKM dalam memasarkan produk usahanya. Simak penuturan Mas Fathul Huda. “Jadi batik Kedungwuni kalau sudah masuk gerai-gerai batik kenamaan harganya bisa 100 kali lipat dari harga aslinya dan itu laku. Kenapa kalau beli di Pekalongan sebagai kota batik harganya tidak bisa tinggi?” tanya Mas Fathul Huda UKM Batik Pekalongan, di saat menjelaskan UKM-nya bekerja juga sebagai pengabdian budaya.

Ini yang saya salut. Walaupun dua kendala pemasaran terus-menerus menghadang 7 UKM yang hadir di acara #KopdarTemanAsyiiik, mereka semua tangguh terus berjalan mengembangkan usahanya.

*Semua Foto adalah koleksi pribadi, kecuali foto Soekarno muda